Tasia menggigit bibir dengan gelisah usai latihan debat bahasa Inggris bersama Andri dan Bu Guru di perpustakaan. Dia gugup setengah mati untuk mengatakannya, tapi dia sudah tak tahan lagi. Sementara Andri masih ceria seperti biasa tiap kali berjumpa dengannya.
“Mau ke kafe? Siang-siang panas gini enaknya makan es krim vanila,” ajak Andri.
Tasia menggeleng, “Nggak, And. Aku masih kenyang,”
“Gimana kalo ke bioskop? Mumpung lagi nomat (nonton hemat),” tawar Andri.
Lagi-lagi Tasia menggeleng. “Nggak. Aku lagi nggak mood.”
“Gimana kalo kita ke rum…..?”
“And!” Tasia menyela perkataan pacarnya itu. Dia heran Andri belum sadar juga.
“Ya?” Mimik Andri yang sangat sabar itu membuat Tasia makin gugup untuk jujur.
“Sebentar lagi kan tepat setahun kita jadian. Selama kita pacaran dari mulai kelas satu SMA dulu, jujur aku bahagia. Kamu adalah cowok paling baik yang pernah jadi pacarku. Kita nggak pernah bertengkar. Kamu selalu setia dan membuatku bangga jadi pacarmu. Kencan kita selalu menyenangkan. Kamu sempurna. Ganteng, pintar, keren dan pandai bergaul. Idola semua cewek di sekolah ini. Aku bersyukur banget punya pacar kamu Tapi, Andri…,” Tasia hampir tak mampu menatap sorot lembut mata Andri.
“Tapi aku sudah bosan menjalani ini semua. Hubungan cinta kita memang selalu sempurna dan bahagia. Tapi rasa-rasanya itu aneh dan bikin jenuh. Semua yang kita jalani terasa monoton dan membosankan. Aku baru menyadarinya akhir-akhir ini. Hubungan kita selalu adem ayemaja tapi jadinya malah garing. Rasa cintaku jadi selalu sama padamu dan menjadi hambar akhirnya. Maafkan aku jika ini menyakitimu, And. Tapi aku berusaha jujur.” Tasia berusaha mengatakannya dengan tegas lalu menghela napas berat.
Andri kaget lalu bertanya, “Jadi apa yang kamu inginkan buat hubungan kita?”
“Kurasa kita sudah nggak cocok lagi, And. Bukan karena kamu cowok brengsek atau pernah nyakitinaku. Justru karena kamu selalu dan terlalu baik sama aku sehingga hubungan kita selalu baik-baik aja tapi ternyata makin hari makin menjemukan. Apalagi kita banyak menyukai hal yang sama sehingga membuatku cepat bosan menjalaninya denganmu.” Jantung Tasia berdegup makin kencang karena nervous. “Sekali lagi, maafkan aku, And.”
“Kamu serius?” Andri bertanya dengan heran dan tampak makin terkejut.
Tasia mengangguk yakin. “Ya, And. Aku sudah memikirkannya matang-matang. Hampir seminggu. Kupikir itu cuma kejenuhan biasa tapi ternyata bukan. Jika hubungan kita terus berjalan sedangkan aku berusaha menutupi kebosananku padamu, itu sama aku menumpuk kebohongan. Ini kulakukan untuk kebaikan hubungan kita, aku dan dirimu. Aku cukup kesal karena kau belum juga menydari sikap ketusku akhir-akhir ini sehingga kurasa inilah saat yang tepat untuk jujur. Keputusan ini sudah bulat bagiku, And.”
Andri tampak lebih terkejut, walau tak ada gurat marah atau kecewa di wajahnya. Jangan-jangan dia terlalu syok. Tasia jadi lebih cemas karena dia pikir Andri bakal langsung marah dengan keputusannya. Dia juga khawatir Andri akan membencinya jika mereka putus.
“Tasia, sebenarnya…,” Andri menatapnya lekat-lekat. “Aku juga mengalami hal yang sama denganmu. Akhir-akhir ini aku juga mulai jenuh menjalani hubungan kita yang sempurna tapi monoton. Bukan hanya aku yang sempurna, tapi juga dirimu. Kamu cantik, cerdas, populer dan baik hati. Idola semua cowok. Tapi anehnya, kebersamaan kita terasa menjemukan. Walau aku bosan, aku belum siap mengatakan yang sejujurnya padamu. Aku takut kamu terluka dan membenciku nanti. Makanya aku selalu berusaha membuatmu bahagia untuk menutupi kejenuhanku. Maafkan aku yang terlambat untuk jujur.”
“Jadi lo nggak marah kita putus?” Tasia bertanya hati-hati.
“Nggak, Sia. Justru gue minta maaf karena hubungan kita nggak berhasil.”
“Tidak apa-apa, And. Walau pun nanti kita sudah nggak pacaran lagi, kita masih tetap bisa temenankan? Apalagi kita nanti akan satu tim dalam lomba debat tingkat propinsi,”
“Tentu aja, aku ingin kita tetap berteman baik, Sia. Sip, aku percaya kita bisa mengharumkan nama sekolah.” ujar Andri, mantap. Ketakutan dan kegugupan di dada Tasia pelan-pelan menghilang berganti rasa lega yang membuat napasnya ringan. Setelah saling jujur, kini mereka tak perlu lagi pura-pura. ***
dimuat majalah Gadis edisi 34 XXXIX: 25 Desember 2012 – 3 Januari 2013