Judul : 9 Summers 10 Autumns
Penulis : Iwan Setyawan
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Tahun Terbit : Februari 2011
Tebal : 238 halaman
Peresensi : M. Nur Fahrul Lukmanul Khakim*
CITA-CITA ibarat sebuah apel di ranting pohon yang tinggi, tampak cerlang dan menggiurkan. Namun proses untuk meraih buah itu tak semulus kulit apel. Perlu keuletan, kesabaran, dan keyakinan. Semua orang pasti punya “apel” atau impian masing-masing. Ada yang terwujud, ada yang hanya tertinggal di angan. Semua itu tergantung usaha individu tersebut. Sedangkan yang menjadi polemik saat ini adalah keterbatasan ekonomi dalam mewujudkan suatu cita-cita. Ada pepatah lama yang menarik untuk disimak: segalanya memang butuh uang, tapi uang bukan segalanya. Menariknya, kisah dalam novel ringan ini mampu membuktikan pepatah itu dan menghadirkan keajaiban elegi sebuah cita-cita.
Cita-cita tersebut lahir dari kerpihatinan tokoh utama bernama Iwan yang dianugerahi enam saudari yang cerdas di tengah kondisi keluarga yang serba “sesak”. Novel yang terinspirasi dari kisah hidup penulisnya ini memiliki alur maju-mundur, memainkan degup hati pembaca. Menyentuh namun dilukis dengan bahasa halus bagai hembusan angin. Memikat imaji dari dataran kota Batu sampai ke kota The Big Aple, New York. Penulis seolah menghadirkan pembaca dalam kisahnya. Mengajak pembaca mengenal sebuah rumah kecilnya di gang Buntu Kota Apel (Batu) sampai dinginnya salju di Time Square NYC. Sungguh menakjubkan juga mengobati kehausan pembaca akan kisah yang inspiratif dan motivatif seperti novel Laskar Pelangi atau Negeri 5 Menara.
Iwan yang sejak kecil tak punya kamar ini meniti cita-citanya dengan berbagai kegiatan akademik maupun seni. Dia dapat meraih kesuksesan di semua bidang tersebut. Mengharumkan nama keluarga namun tetap rendah hati. Iwan mengajarkan pentingnya rasa syukur di atas ranjang bambu yang berkreot, rumah yang sempit dan bernyamuk, serta bekerja sambilan untuk membantu ekonomi keluarga. Pesan moral dalam novel ini begitu kental dan mengalir ke dalam relung hati pembaca tanpa paksaan, begitu lepas seperti air.
Suasana cerita layaknya masakan yang sempurna, lezat dan gurih jadi satu dalam bingkai kata-kata yang sederhana. Kehidupan tokoh selama menghabiskan masa sekolahnya di Batu ditampilkan dengan menarik meski hanya tentang kehidupan sehari-hari. Senang-susah Iwan kala menjalani babak baru sebagai mahasiswa IPB dan harus pindah ke Bogor, padahal dia belum pernah jauh dari keluarganya. Hingga latar kehidupan dan interaksi penulis ketika bekerja dengan telaten di sebuah perusahaan pengolahan data di New York. Perjuangan demi perjuangan menghiasi tiap sudut halaman buku ini.
Dobrakan Iwan setelah lulus kuliah dan meraih predikat sebagai alumni terbaik IPB dalam mencari pekerjaan cukup mengesankan. Pembaca seolah merasakan tiap tetes keringat dan air mata yang tercurah pada setiap alur cerita. Membuat tertawa, sekaligus waspada. Lucu namun haru. Dengan bekerja segenap jiwa dan raga, manusia bisa meraih kesuksesan. Iwan merupakan contoh nyata motto itu. Dia berhasil dengan pekerjaannya di Nielsen Company lalu bergabung dengan perusahaan Danareksa yang juga bertempat di Jakarta. Dia tidak hanya menerima tawaran mengelola data statistik dari dalam negeri, namun juga luar negeri sehingga membuat “kegarangannya” kian bersinar. Pantaslah sebuah perusahaan pengolahan di New York meliriknya dan terbanglah ia ke sana dengan penuh tangis-suka-cita.
Beberapa puisi Chairil Anwar dan Destrovkoy dalam novel best-seller ini menambah warna wawasan pembaca mengenai seni dan sisi-sisi cantik di New York saat winter, autumn, summer, mau pun spring. Musim dan kengangan saling melekat namun juga bersekat hingga memori dan cinta keluarga lah yang mempertebal kedewasaan Iwan sehingga dia mengambil sebuah keputusan besar yang mengejutkan namun memukau.
Batu dan New York merupakan kota yang berlawanan namun memiliki julukan yang mirip: Apel. Iwan telah menalikan perbedaan tersebut melalui kisah yang mirip memoar ini menjadi musim yang selalu menghangatkan cinta dan kenangan. Plot cerita diukir lambat dan terkesan bertele-tele, sedangkan penempatan beberapa puisi kurang mendukung gagasan cerita. Kata-kata Inggris yang kurang diterjemahkan berpotensi membuat pembaca dirundung jemu. Namun selayaknya sebuah apel, terdapat biji dan kulitnya yang terkadang akan menggangu saat dinikmati. Namun novel tetap ini lebih manis dan romantis dari sebuah apel. Jika “apel” ini tidak memberi cukup hiburan, setidaknya pembaca akan mendapat motivasi dan inspirasi yang menambah semangat bercita-cita dan mewujudkannya. Apel semangat!
*Peresensi adalah Anggota UKM P Angkatan 2011, Mahasiswa Jurusan Sejarah 2010